followers

Antara WIB dan WITA

Written by YESSIOW , Selasa, 19 November 2013



Aku diam dan terpaku di bangku panjang berwarna coklat. kembali ke keadaan semula, sambil memikirkan petualangan dan usahaku untuk menemuimu. Tanganku memainkan handphone yang menjadi barang tak-pernah-terlupakan-oleh-siapapun. Kehilangan handphone seperti kehilangan setengah hidup. ah, berlebihan. tapi itu yang aku alami. setelah semua pertemuan yang manis menurutku, walaupun kita berjalan, duduk, bergandengan selama apapun itu, tidak akan cukup. karena dipaksa oleh keadaan kembali ke kehidupan semula. Kamu WIB, aku WITA.



***
Aku mulai mengenal sesosok laki-laki yang aku juga tidak menyangka akan berurusan lebih jauh, jauh dan jauh dengannya. Aku juga tidak menyangka aku akan selalu menunggu pesan atau telephone darinya. Kenapa bukan dia yang aku tunggu? dimana sosok aslinya? sosok aslinya sedang sibuk dengan kesibukan dunia nyatanya. Selama beberapa minggu ini aku terjebak dengannya. Awalnya aku tidak begitu menggiraukannya. Sepertinya aku dihampiri seorang teman yang bernama karma. Aku mulai menyukainya, dan lanjut menyayanginya. Bagaimana bisa? aku menyukai sosok yang aku tidak tau wujud dan bentuknya. Bagaimana jika dia adalah hantu? bagaimana jika dia hidup di dunia lain? ah terlalu jauh jika berfikir seperti itu. Dia masuk ke dalam rongga kehampaanku dan berhasil duduk dengan sempurna di kursi rongga itu. Parahnya, aku tidak bisa mengusirnya. 

Dua minggu berlalu, tiga minggu berlalu, aku semakin yakin aku benar menyukainya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus menolak dia dan menyuruhnya keluar dari ruang hampa itu? atau aku harus bersikap bersenang hati karena ada yang mengunjungi ruang hampaku? aku hanya bisa mengikuti waktu dan mendapat jawaban nantinya.
Perjalanan berbuah manis. Setelah berminggu-minggu hanya melakukan hal yang itu-itu saja. Berkirim pesan, saling mendengar suara. aku bisa memilikinya. 

"Sadarkah kamu kita beda zona waktu?" tanya laki-laki yang sosoknya terbatasi oleh pagar telephone.
"Ya, aku sadar. tapi kamu dan aku dalam satu zona."
"Apa itu?"
"Kita."

Saat aku terbangun dari tidur, dia masih terlelap dalam hangatnya mimpi. Saat aku mulai mengantuk dan tertidur, dia masih terjaga dengan hal yang ia kerjakan. Selama aku mengenalnya, suara dia yang menjadi suara terkahir yang aku dengar sebelum aku tidur. 

"Selamat tidur, sayangku. tetap jaga hubungan ini, walaupun kita terbatasi waktu dan ribuan kilometer jauhnya." ujarnya dengan lembut
"Pasti, pasti."
Suara itu yang selalu membuat aku meleleh jika aku mendengarnya. Suara itu yang meredakan jika aku sedang marah. Suara itu.. hanya suara.

***

Selama kurang lebih satu bulan, aku menanam bibit namanya dalam otakku. Bibit yang ditanam lama-lama pasti akan bertumbuh besar, bukan? tapi tunggu, akan lebih subur jika diberi pupuk. Sama dengan nama itu. Lama-lama bertambah besar dan mengisi otakku. Dan bertambah subur dengan pupuk kata-kata manis yang ia ucapkan padaku. 

"Sampai kapan kita akan begini terus? saling menyayangi yang tidak tahu sosok satu sama lain? mustahil. Tapi tidak, kalau mustahil kita tidak akan ada." aku bertanya dengan nada serius kepadanya.
"Tunggu aku nanti akan membuat semua itu tidak mustahil, Febi"
"Aku tidak mau mendengar omong kosong yang tidak ada hasilnya, sayang."
"Tugasmu hanya menunggu, aku."

Menunggu memang hal paling menjengkelkan. Manusia mana yang suka menunggu, hanya menunggu lima menit saja sudah uring-uringan. Bagaimana dengan aku? tiga bulan aku menunggu untuk melihat wajah laki-laki yang aku cinta dari kejauhan. Tiga bulan aku menunggu untuk merasakan hangatnya tubuh yang aku peluk dari kejauhan. Ya, ini saatnya usahaku menunggu itu berakhir.
Untuk pertama kali aku berada disamping laki-laki yang membuat aku memberikan semua perasaan sayangku kepadanya. Tidak dipungkiri, melebihi apapun.


Aku anggap ini adalah sebuah petualangan. Dengan jalan yang didominasi tikungan tajam. Di selingi jalan lurus membentang. Dan di hiasi rambu-rambu peringatan. Jika kita salah mengambil jalan, akan terkena pelanggaran. Seperti itu kira-kira.
Aku dan Fabian mengalami banyak salah mengambil jalan, pertengkaran. Itu sanksi yang kami dapat dari pelanggaran.

Aku menyukai semua yang ada pada Fabian. Aku suka gaya berjalannya. Aku suka gaya bicaranya. Dan aku suka aroma parfum yang melekat di tubuhnya. Hal yang paling nyaman adalah berada dipelukan Fabian, sambil terdiam di bagian lehernya. Dengan kuat menghirup aroma parfum hingga aromanya hambar kembali. Aku suka wangi parfumnya. Aku bisa menyuruhnya menumpahkan sebotol parfum di tubuhnua dan aku terlelap dalam pelukannya. Ah, surga.

Setelah pertemuan pertama itu, kita memulai usaha lebih untuk bertemu kembali. Suatu ketika, saat peringatan hari raya besar umat muslim. Kami menyempatkan untuk kembali melihat satu sama lain, tidak dengan media yang sedang nge-tren seperti skype, atau video call lainnya. Tapi melihat secara langsung dan menyentuhnya tanpa ada pembatas.

"Jangan menutup-nutupi sesuatu, katakan jika ada yang dipendam." sambil menyodorkan hanphone dengan sebuah aplikasi note terbuka di dalamnya.
Aku membacanya dan hanya terdiam sambil berfikir, apa yang sudah aku lakukan?
"Aku tidak perah menutupi apapun dari kamu Fabian. Semua sudah aku ceritakan padamu." 
Satu hari yang sangat berkesan, menurutku. satu hari yang cukup berbekas untukku, walaupun tidak maksimal, tawa tidak semua keluar. aku puas menatap, menggenggam, memeluk, memperhatikan, kamu.

***

Masalah memang selalu datang bertubi-tubi padaku. Aku sedang berteman dengan kecemburan. Aku sedang berdampingan dengan pikiran negative. Aku akui, susah menolak mereka dan lepas dariku. Tapi itu yang aku alami. Aku berteman dengan mereka. Setiap aku dan Fabian selesai berdebat tentang sesuatu, ingin rasanya aku mengerahkan usahaku untuk menyelesaikan masalah secara langsung. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya berbicara empat mata, bertatap langsung, dan menemukan jalan keluarnya bersama. Tidak melalui telephone atau sms. Aku muak dengan semua itu. Ingin rasanya aku kabur dan tidak menghiraukan izin dari orang tuaku. Tapi, jika aku melakukan itu, hasil yang aku petik akan berlipat ganda. Di marahi oleh orang tua, atau mungkin dilarang berhubungan dengannya, dan di marahi oleh Fabian, lalu ia membenciku dengan sikap nekadku.

Berpikir, berpikir, berpikir. Sampai suatu ketika aku benar-benar tidak kuat menahan sedih, kesal dan marah kepada Fabian. Air mata membanjiri pipi dan bantal yang aku dekap. Suara sama-samar yang berbicara padaku dari kejauhan terdengar. Ibuku, iya berbicara padaku mengomentari tayangan selebritis yang menjadi favorite-nya, tidak aku hiraukan. 
Lalu aku keluar dan menangis sejadi-jadinya dalam dekapan ibuku.

"Kamu kenapa? kenapa tiba-tiba menangis?" tanya ibuku dengan keheranan.
"Aku ingin menemui Fabian, Ma. Aku ingin menemuinya"
"Ada apa dengan Fabian? apa yang terjadi padanya?"
"Tidak ada, aku hanya rindu padanya. Aku tidak kuat menahan ini lebih lama lagi"

Tidak bisa menolak, Ibuku meng-iya-kan permintaanku. Karena Ibuku orang yang paling mengerti aku jika permintaanku tidak dituruti, aku akan berbuat hal yang ekstrim. Dengan persetujuan yang telah disepakati dan di hiasi oleh perdebatan, Akhirnya aku berhasil mendapat izin untuk menemui laki-laki yang aku sayang selama 219 hari ini.
Saat Fabian sudah ada di depan mataku, aku berteriak dalam hati, sangat kencang. Aku merindukannya. Aku merindukan wangi parfumnya. Aku merindukan gurauannya. Dan banyak hal yang aku rindukan darinya. 

"Aku berada dalam satu zona waktu dengannya. Aku tidak lagi menghitung selisih waktu antara aku dan dia, Aku satu zona waktu dengannya" teriakku dalam hati kegirangan.

Selama beberapa hari aku berada di kota orang yang aku tidak tahu arah. Walaupun jaman sekarang sudah canggih, kita bisa menggunakan google maps
Banyak hal yang terjadi, walaupun hanya beberapa hari. Tidak lupa, pertemuan itu di bumbui oleh pertengkaran kecil yang disebabkan olehku. Sungguh, aku menyesal.

"Kenapa kamu hanya diam Febi? kita tidak sering bertemu, manfaatkan waktu dengan baik, jangan membuang-buang waktu yang sama dengan di telephone" dikirimnya kalimat tersebut kepadaku.

Aku hanya terdiam, menangis, dan menyesal.
Aku berjanji akan membalas semua yang ia katakan padaku itu, besok. besok adalah hari terakhir aku berada disana. Semoga bukan hari terakhir aku bersamanya. Fabian memang sukar ditebak. Aku tidak tahu, apakah aku berhasil membalas kalimat tersebut dengan sikapku yang terus mengoceng seperti burung Beo? aku hanya tersenyum dan terharu melihat paras wajahnya yang berdeda dari biasanya. Aku merasa aku sudah menepati janji dengan mengeluarkan sifat asliku.

Saat ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Aku dan Fabian berboncengan menuju bandara, tempat kami akan berpisah. Untuk sementara, tidak selamanya. Semoga. Dan kembali ke tempat masing-masing dan ke kesibukan masing-masing. Tidak lupa aku memberinya sepucuk surat yang isinya ucapan terimakasih atas semua yang dia berikan selama aku bersamanya. Aku menulisnya pagi-pagi buta dengan air mata yang tidak bisa tertahan di kelopak mataku.
Seperti yang aku bilang tadi, masalah tidak akan pernah usai. aku masih dikuasai dengan egoku. Begitu pula dengan Fabian. Saat aku mulai merasa terjebak dan tersiksa karena terus memikirkannya, aku terus berprasangka buruk dengannya, aku hanya bisa menangis, melamun, dan malas melakukan apapun.

"Kamu jangan menangis terus, aku tidak suka mendengar kamu menangis terus." suara lembut itu menenangkanku yang terisak.
"Tidak ada jalan lain, aku hanya bisa menangis. Aku rindu, aku tidak bisa memelukmu, aku marah aku tidak bisa menghantammu, aku hanya bisa memandangi fotomu, menangis, dan terlarut dalam kerinduanku" aku menjelaskan.

Aku selalu dihantu rasa takut akan respon dari Fabian. respon mengenai apapun. apapun saat aku berbicara padanya, ntah langsung atau tidak. Teman kami, yaitu kerinduan yang didampingi oleh masalah, membuat kami belajar dari mereka. Tapi mengapa, teman kami selalu datang dengan tema dan judul baru? tapi inti ceritanya masih itu-itu saja?
Ego dan kesabaran yang bisa meredakan mereka.
Tuhan baik kepadaku, tuhan mengirimkan kamu untuk mengubahku menjadi perempuan yang lebih dewasa, lebih sabar, dan lebih mengalah. Tapi tidak kalah dengan lebih egois, lebih kekanak-kanakan, dan lebih cemburuan. Api memang musuh dari air.
Walaupun aku di hampiri oleh kerinduan dan berujung masalah yang itu-itu saja. Hingga detik ini, aku tidak bosan atau jenuh padamu. Aku akan tetap menjaga, mempertahankanmu, dan memperjuangkanmu, Fabian.

Aku diam dan terpaku di bangku panjang berwarna coklat. kembali ke keadaan semula, sambil memikirkan petualangan dan usahaku untuk menemuimu. Tanganku memainkan handphone yang menjadi barang tak-pernah-terlupakan-oleh-siapapun. Kehilangan handphone seperti kehilangan setengah hidup. Ah, berlebihan. Tapi itu yang aku alami. setelah semua pertemuan yang manis menurutku, walaupun kita berjalan, duduk, bergandengan selama apapun itu, tidak akan cukup. Karena dipaksa oleh keadaan kembali ke kehidupan semula. kamu WIB, aku WITA.


8 komentar:

  1. hi yessi itu dalem banget aku suka kalimat "Ya, aku sadar. tapi kamu dan aku dalam satu zona."
    "Apa itu?"
    "Kita." :))

    BalasHapus
  2. Ceritanya menyentuh, Yes. :''')
    Kalo gue boleh tebak. Ini cerita nyata kan. Lebih tepatnya kisah cinta lo, cuma bedanya disamarkan aja nama tokohnya. Hahaha.

    Yaudah, sabar aja. Begitulah, menjalani LDR'an. :X

    BalasHapus
  3. waah.. dalem kak. kite senasib. nasib LDRan T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh iya kah? Teman kita banyak kok :') wkwkwk

      Hapus
  4. Curhat tertutup ini gue yakin. Sabar, Yes. Nanti juga ketemu. Makanya, beresin kuliah, lulus, nikah, happy ending.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Melakukan itu tak semudah membaca komenmu :p hahahahbaban

      Hapus

dikomen juga boleh.. boleh banget malahan... :))